Sumberkima, 3 April 2013
Dahulu perempuan bali selalu rendah dimata
masyarakat bali, dimana mereka hanya boleh menerima apa yang sudah menjadi
takdirnya sebagai perempuan bali. Tidak mendapatkan pendidikan yang cukup, usia
dini mereka harus membantu orang tua diladang ataupun didapur sangat kontras
dengan lelaki bali dimana pada usia dni mereka bisa mengecap rasanya bermain. Dan
ketika mereka sudah memasuki mahligai perkawinan seakan-akan mereka dibuang
dari keluarganya, mereka tidak mau tahu apa yang terjadi pada anak perempuan
mereka setelah berumah tangga, apakah bahagia? Apakah sengsara? Mereka selalu
tersiksa perasaannya ketika harus berbagi suami dengan perempuan lain, kerja
keras membanting tulang untuk menghidupi suami dan anak-anaknya, sedangkan
suaminya asyik mabuk, judi bahkan main perempuan. Para lelaki hanya bisa
memukul, menyiksa, menakuti hanya untuk menunjukkan kekuatan mereka atas
seorang perempuan yang disebut ISTRI.
Seorang istri adalah untuk disayangi, seorang
istri adalah untuk dihargai dan dikasihi karena mereka rapuh dibalik
ketegarannya, terluka dalam kepatuhannya, menangis darah dalam kegembiraannya. Apalagi
jika kekuatan yang tidak pada logisnya diterima dan dipertontonkan kepada
anak-anak yang mengakibatkan mereka selalu hidup dalam ketakutan, kecemasan dan
randah diri ketika mereka berada dalam lingkungan yang berbeda.
Sakit ketika melepaskan keperawanannya, 9 bulan
mengandung seorang anak dengan segala masalahnya tanpa lelaki dapat membantunya,
melahirkan dan merawat anak-anak tanpa lelah Lalu ketika sebuah keputusan berat
diambil, sebuah langkah ingin hidup bebas dan damai dengan buah hatinya, kaum
lelaki bali dengan seenaknya mengambil anak-anak mengatasnamakan PURUSA. Jika ingin berlogis ria, ketika mereka
tersiksa oleh darahnya PURUSA, apakah mereka bisa membantu? Menolong? Atau melindungi?
Orang yang mengatasnamakan PURUSA adalah orang kerdil dan picik yang hanya bisa
berkoar dan bersabda tapi tidak bisa menunjukkannya. Leluhur itu selalu ada
menyertai setiap langkah kita, mereka selalu memberikan berkah ketika dalam
sakitpun kita selalu bersyukur apalagi dalam keadaan senang. Dimanapun kita
berada, dengan siapapun kita bersama, leluhur selalu mendampingi kita.
Hal diatas hanya segelintir masalah yang dapat
dijumpai pada perempuan Bali. Namun Perempuan bali itu kuat, perempuan bali itu
hebat, dan perempuan bali itu tidak bodoh hanya keadaan dan situasi dalam
keluarga yang kolot dan lingkungan yang saklek yang membuat mereka terkukung. “
Ingat selalu dibalik punggung seorang lelaki yang hebat berada seorang
perempuan yang kuat “.
Dengan semakin canggihnya teknologi dan semakin
maju cara berpikirnya masyarakat bali, terjadilah sedikit demi sedikit
perubahan atas kedudukan seorang perempuan bali. Mulai dari persamaan hak atas
harta warisan, persamaan gender atas kedudukan dalam keluarga dan bisa mengasuh
anak-anak walaupun mereka bercerai dengan suaminya, karena bagaimanapun
anak-anak lebih nyaman dengan ibunya ketmbang bapaknya...dan hal itu tidak bisa
dipungkiri dan terjadi pada sebagian besar perempuan bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar